“Hari ini kau mau datang.
dan kamarku sudah bersih…………..”
Langit sebentar lagi akan
berhias warna kemerah-merahan dari cahaya matahari yang condong ke
barat. Sedikit awan putih mungkin akan menambah manis biasnya. Warna
langit sore ini sama seperti dua puluh tujuh tahun yang lalu ketika aku
masih belajar menggambar pemandangan gunung dengan kelepak burung-burung
kecil, sawah-sawah yang terjejer rapi, gubug-gubug yang terlihat damai
dan satu jalanan yang bengkok membelah kertas gambar, serta langit yang
merah marah.
Pernah sesekali ibu bertanya,
“Nak kenapa langitnya berwarna merah bukan jingga?”
“Langitnya sedang marah, bunda!” seruku sambil menatap mata ibu yang teduh.
Lalu pasti ibuku akan tersenyum dan memberikanku krayon warna kuning, dan berkata
“Nak, langit itu baik. Dia tidak pernah marah pada kita, karena Dia sangat baik terhadap orang yang baik.”
Aku tersenyum dan menuruti
kata-kata ibuku, dengan sigap aku tumpuk warna merah yang sudah
tergambar dengan warna kuning agar menjadi jingga. Iya! jingga yang
utuh, jingga yang murni, jingga setiap siapa saja melewatinya pasti akan
menyukainya karena Dia baik memberikan keindahan pada kadang akhirnya.
Sekarang, semua itu sudah tidak
ada lagi, sudah menjadi ingatan yang bergalayut di langit-langit batok
kepala dan tidak mau dipetik. Ibu sudah meninggal, tepat di senja yang
merah beberapa bulan lalu setelah luka kecil yang menimbulkan lubang
menembus payudara dan paru-parunya. Pada akhirnya ibu menyerah melawan
luka dan tidak bisa bernafas lagi. Sedetik setelah ibu menghembuskan
nafas terakhirnya, aku tercekat dalam kesedihan pertanyaan, cara
terakhir seperti inikah yang Kau berikan pada ibuku. Bukankah beliau
adalah manusia yang selalu mengagumi dan memujaMu. Selayaknya pengagum
setia, dia pantas mendapatkan akhir yang lebih baik dari ini semua. –
Dan aku heran mengapa ibu masih sempat tersenyum dan menyebut-nyebut
namaMu sebelum tidur panjangnya?
***
Bagiku selalu mengerikan
melewati senja yang seperti ini, kemerahan langitnya dengan semilir
menelisik perlahan melewati jendela kamar yang sengaja aku biarkan
terbuka, sedang jiwaku merasa seperti akan dirampas oleh hembusan angin.
Inikah waktunya Tuhan?
Waktuku.
Sekelebat bayangan berlalu dihadapanku.
***
Setelah beberapa waktu aku
menjadi terbiasa dengan senja yang seperti ini, terbiasa mengahadapinya
dengan tersenyum karena aku tahu bahwa tidak lama lagi Kau juga akan
datang untukku. Dalam kamar yang tidak begitu luas ini, hanya tiga kali
empat meter saja. Tembok yang berwarna putih pucat disalah satu sisi
temboknya tersusun beberapa foto tua milik ibu. Lantai keramik tempat
membumikan semangat yang luntur diguyur kerasnya kehidupan,
langit-langit yang cukup tinggi untuk memasang mimpi kalau khayalan
kelewat batas, - celaka. Disalah satu sudutnya ada lemari tempat
menyimpan kesombongan dan keserakahan, lalu aku hanya akan mengenakan
pakaian biasa yang rombeng. Disampingnya ada meja tulis terdiri disitu,
hampir tidak pernah aku gunakan. Satu ranjang tidur yang juga jarang
aku tiduri, satu loker berada ditepian penuh dengan buku. Dua pasang
jendela kaca yang kalau hujan rintik aku bisa mengintipnya dari situ dan
kalau Kau sedang bermurah hati memberikan senja, maka aku bisa
menyaksikan senja yang merah murung.
Dan kamarku sudah bersih…
Tapi
sebenarnya bukan itu semua yang sudah aku persiapkan untukMu saat ini.
Setiap langkah dari kehidupan telah aku hitung menurut jangka aturanMu,
walau aku tahu apa yang sedang aku cela, aku hujati terhadap
takdir-takdir gila yang Kau berikan padaku, pada orang-orang disekitar
yang sangat aku sayang adalah semata kekesalanku yang spontan dan masih
dalam batas kewajaran tidak menerima keputusanMu. Ketika kembali banyak
hal terbuka maka tidak bisa aku tampik bahwa betapa sinergi kekuasaanMu
melebih dari apa yang aku pikirkan, lalu aku menyerah dan berbenah
seperti sekarang.
Sungguh kamar ini hanya media
yang coba aku rapikan sebelum Kau benar-benar tahu siapa aku dan
mengambilku dari kamar ini setelah ibuku.
-mungkin kau akan menilaiku dari apa yang ada disekitarku.
Maaf jika aku berburuk sangka
padaMu tentang sebuah penilaian, tapi dengan jujur aku mengatakan, aku
takut semuanya buruk hanya karena hal sepele duniawi ini. Bukankah aku
juga akan menyusul ibuku dengan senyuman? – Begitu banyak cerita
tertekan dalam otak dan hati saling ingin menyudahi satu sama lain,
Buruk.
Aku…
Baik,
mari aku beri tahu sedikit tentang hal ikhwal siapa aku sebelum Kau
benar-benar datang hari ini, karena siapapun aku pasti Kau akan lebih
memahaminya jauh daripada aku sendiri.
Aku adalah orang yang banyak
merasa dan sedikit mengerti, tersesat dalam labirin-labirin berlendir
menjijikan sang waktu. Walau banyak buku aku baca, walau banyak bijak
aku tanya lalu aku akan selalu terkapar lemas memandangi langit yang
diam terhadap ribuan bahkan jutaan hal yang tidak bisa aku mengerti atau
setidaknya diberi pengertian, -perhatian.
Aku adalah orang yang tidak mau
terdefinisi dan mendifinisi oleh jeratan mata kasat, selagi semuanya
menoleh kekanan bisa jadi aku sedang menoleh kekiri. Dan pandanganku
yang nanar ketika satu wujud berdiri dihadapanku maka akan selalu
terlihat seperti amoeba yang membelah diri jadi dua, empat, delapan dan
seterusnya. Ketidak-konsistenan wujud terletak terhubung berbeda pada
setiap pemikiran masing-masing dan aku bukan bagian dari yang memutuskan
untuk menolak untuk menerima.
Aku adalah orang yang berjejal
ingin keluar dari sebuah kungkungan ketidakabadian ini. Berlarian
melupakan, kalau perlu dengan sorak rendah riuh aku akan menggeser tukar
perwujudan ini. Melompati kilang kegelisahan dan tetap melantunkan
berbagai bunyi, agar lebih hangat apa yang sudah aku jalani. Bagiku
hidup sama artinya menyerahkan kemenangan dan menukarnya dengan
kekalahan beruntun sebelum waktu yang Kau tentukan.
Aku adalah orang yang meruang
dengan segala langkah terbawa sampai ke puncak tinggi dan seloroh ke
pantai-pantai, namun akan kembali pada kamar ini dengan membawa segala
rindu dan dendam dan berakhir dalam banyak tulisan, mengerikan. Sebuah
labuhan yang harus aku kunjungi ketika apa yang menggerogoti
bentuk-bentuk mulai mengganas dan tak kenal ampun, walau aku sendiri
adalah tuan terhadap apa yang aku pikirkan.
“Bakar…bakar” cuma itu bisikan
yang terdengar ketika sebentuk naskah selesei tepat sebelum menemui
ajalnya - sama seperti aku nanti.
Aku adalah orang yang hanya akan
ada di titik yang tidak mungkin disentuh walau sangat dekat, menemani,
berkawan dengan kepedihan dan luka-luka. Sedang sebab kenapa aku harus
hidup ternyata kadang pikiranku memang seperti itu. Aku menjemput
takdirku sendiri, menginginkan awan gemawang runtuh jadi hujan dan
disitulah berbeda antara aku dan hujan.
Aku adalah orang yang sangat
pekat, berjarak ribuan kilo dari pemikiran manusia pada umumnya,
sesekali aku menolak, sesekali aku bermuara pada kebingungan pementasan
hidup, Ahh…sungguh culasnya aku. Tapi bisakah Kau rasakan energi yang
meledak dari bentuk-bentuk ketidak patuhanku ini? – mata adalah jala
yang menjaring makna dan segala yang terdetik dalam pikiran dan hati
hanyalah tipuan.
-Tiada reinkarnasi.
Cukup
Ahhh!
tapi sungguh Kau pasti mengenaliku lebih dari aku sendiri, sungguh
benar hidup cuma seperti permainan yang berputar bekutat membalik pada
titik azimtut, tua, lemah dan siap untuk tidak di ingat.
Dan aku mulai berbaring
memejamkan mata, sambil mengatur ritme nafas, tersenyum seindah mungkin.
Ibu, senyuman ibuku yang kudus seakan mensucikan kegundahan ini.
Ayo! Silahkan sesiap apapun akan
ada ragu, tapi biarlah aku sisakan sedikit keraguan sepantasnya manusia
yang tetap masih manusia.
Jika kamu jadi datang hari ini aku sudah bersiap,
dan kamar sudah bersih.
*Langit sedang cerah dan layar-layar siap dikembangkan.
Bawalah aku, kemanapun Kau berkehendak.
pun aku tidak percaya reinkarnasi dan kehidupan sesudah mati, tapi biarkan aku setidaknya bisa tersenyum.
0 komentar:
Posting Komentar